segudang kisah dari perjalanan akhir tahun kemarin.
Pak suami memang doyannya mengajak ke tempat liburan yang butuh perjuangan. Melatih saya yang masih tipis banget level sabarnya dan suka mengeluh. Perjalanan ke shirakawago itu memang terbukti melatih kedua hal ini bagi saya. Tak terhitu ng berapa kali hujan salju mengguyur. Dingin? Ya iya pasti sampai tangan mati rasa. Belum lagi kami melewati rute sengaja memilih yang sepi. Cuma berdua jadi harus kerjasama dengan baik. Kalau ada acara ngambek mah alamat ditinggal di tengah salju sama pak suami 😂
Kalau saya mulai mengeluh “aduh dingin ya”, “aduh masih jauh ga?”, “lapar ya” (Iya! saya memang cerewet banget. :p), Nah pasti pak suami bagian mengingatkan. Ayo latihan mengontrol diri. Kenapa harus mengontrol diri? Karena kita tidak akan bisa mengontrol faktor eksternal seperti orang mau komentar apa (ini penting sekali karena kalau kitanya baper terus, wah hati ini sudah remuk redam kayanya), perilaku orang lain, cuaca, musibah, dan lainnya. Yang bisa dikontrol yakni bagaimana kita menyikapinya. Jadi daripada mengeluh, lebih baik berpikir bagaimana mengatasi atau minimal mengalihkan pikiran agar kita tak ikut terdampak negatif.
Traveling juga membuat kita mengubah rutinitas sementara. Bisa menambah rasa syukur ternyata nikmat ‘settled down’ yang selama ini selalu kita lupakan. Apalagi ternyata daerah Kanazawa jarang restoran halal. Bergerilya berdua baca-baca kandungan makanan di supermarket untuk sushi dan sejenisnya yang mana yang halal secara kandungan (pulang liburan langsung masak sapi dan ayam terus! hehe).
Proses belajar itu memang seumur hidup. Tak perlu perubahan drastis, cukup berubah sedikit demi sedikit namun berkelanjutan. Ibarat kata memang sulit berubah 360 derajat dalam satu waktu, namun jika perubahan dilakukan 1 derajat setiap hari, terlihat bukan tak mungkin kan?