Mengapresiasi Waktu untuk Menyendiri

menghadiahi diri dengan jalan-jalan ke Osaka melihat illumination

Membaca judulnya pasti sekilas terkesan seperti orang yang dalam keadaan depresi berat. Tidak juga sebetulnya. Menyendiri tak harus selalu identik dengan kesedihan, patah hati, berduka, dan hal yang berkonotasi negatif lainnya. Menyendiri pun bisa untuk hal-hal positif. Justru dengan menyendiri dalam merayakan suatu keberhasilan bisa menambah rasa percaya diri dan tentunya bersemangat untuk mengarungi tantangan lainnya.

Berawal sejak saya berkuliah di Jogjakarta. Di sanalah saya memulai perjuangan sebagai seorang anak kost di kota Jogjakarta yang notabene jauh dari kampung halaman, Palembang. Bahkan kalau pakai pesawatpun butuh transit dahulu di Jakarta (Saat ini saya dengar sudah ada penerbangan langsung Palembang-Jogjakarta dan sebaliknya). Masa-masa perkuliahan ini mulai menjadikan saya sadar bahwa ketangguhan itu harus datang dari diri saya sendiri. Memang saya masih memiliki sahabat masa SMA yang satu kost dengan saya, namun mereka tentu memiliki kesibukan masing-masing yang tak mungkin bisa saya ganggu seenaknya.

Mengatur emosi adalah yang sulit yang hingga kinipun saya masih harus banyak belajar. Ketika kesedihan datang, saya harus mampu mengatur kadar kesedihan itu agar sahabat saya tak menjadi sasaran luapan kesedihan saya secara membabi buta. Sebaliknya sama pula ketika terdapat suatu kebahagiaan, saya harus dapat mengatur emosi karena belum tentu sahabat saya dalam keadaan seberuntung saya ketika saya bercerita padanya. Mampu meningkatkan sensitivitas terhadap lawan bicara adalah kuncinya.

Kita hanya akan mendengar nasihat yang mau kita dengar. Pernah dengar perkataan tersebut? Hal ini karena secara psikologis, di alam bawah sadar sebenarnya kita telah memiliki solusi atas permasalahan yang kita hadapi, kita hanya perlu dukungan moril untuk ide kita tersebut. Jadi tujuan curhat yang sebenarnya terkadang hanya mencari pembenaran untuk tindakan yang kita ambil nantinya. Sebagai contoh gampangnya adalah ketika kita galau ingin memutuskan apakah harus diet atau tidak (jangan protes ya saya pakai contohnya ini. hehehe). Jauh-jauh hari kita sudah pengumuman terhadap teman-teman jangan mengajak kita jajan, karena sedang program diet. Dari 20 orang yang tidak mengajak kita jajan es krim, hanya butuh satu orang yang akhirnya bisa meluluhkan pertahanan kita. Kenapa? karena ada masanya setelah 1 minggu tidak makan es krim misalnya, maka di hari ke delapan saat bangun pagi kita secara tak sadar mengatakan kepada diri kita yasudah tak apa makan es krim satu kali ini. Jadi yang patut disalahkan bukanlah teman kita, tapi memang kemampuan kita untuk mengontrol diri sendiri. Hal ini memunjukkan bahwa manusia pada dasarnya memiliki kontrol yang sangat besar atas perilakunya.

Sama halnya dengan merayakan keberhasilan. Memang banyak orang yang turut andil dalam keberhasilan yang kita capai, namun setiap orang pada dasarnya senang untuk dipuji. Maka dari itulah tak ada salahnya kita meluangkan waktu untuk memuji diri kita sendiri. Terdengar sangat narsistik, namun kurang menyadari keunggulan serta kebikan diri juga berbahaya lho! Banyak kasus anak-anak yang akhirnya bunuh diri karena dibully oleh teman-temannya. Hal ini menunjukkan bahkan di keluarga pun tidak membudayakan untuk memuji sebuah pencapaian maupun menyadari akan kebaikan yang dimiliki oleh dirinya sendiri. Saat seorang anak jauh dari keluarga, dan membutuhkan moral support untuk kepercayaan dirinya, ada baiknya sang anak sudah dididik untuk dapat menghadirkan pikiran-pikiran positif tersebut dengan sendirinya. Dukungan dari keluarga bersifat tambahan karena kembali ke ide awal yang saya kemukakan, akan tiba masanya dimana hidup menjadi sangat sulit, tak ada seorangpun tempat bergantung dan menjadi tangguh hanyalah pilihan yang tersisa.

Keberhasilan yang dicapai tak perlu sebuah keberhasilan yang fenomenal. Keberhasilan kecil seperti: berhasil melewati minggu ujian semester, sidang tesis, menamatkan kursus menjahit, menyelesaikan satu level buku pelajaran bahasa Inggris, atau hal apapun yang membutuhkan fokus dan persistensi maka jika kita berhasil melewatinya dnegan baik maka hal tersebut patut dirayakan. Perayaannya pun tak butuh yang besar-besaran. Cukup dengan melaukan hal-hal yang kita senangi. Pijat di tempat pijat favorit, memanjakan diri di salon langganan, atau bahkan secawan bakso favorit sudah merupakan sebuah perayaan bagi diri sendiri. Satu kuncinya: hal yang kita sukai!

Jika mengalamami saat-saat dimana rasanya hidup ini sangat penat, sudah melakukan segala hal namun rasanya tak ada semangat yang muncul, bisa jadi yang kita perlukan hanyalah waktu menyendiri untuk menikmati saat tersebut tanpa gangguan orang lain. Bagaimana caranya? Kita lah yang bisa menjawabnya. Penat dengan pekerjaan dan tak ingin diganggu? Pergi berlibur di akhir pekan tanpa mengaktifkan ponsel bisa jadi pilihan. Booking di hotel dengan pemandangan yang baik jauh dari keramaian, pesan paket spa, bawalah buku favorit. Bisa juga dengan mengorder semua makanan kesukaan kita di go-food sambil maraton menonton serial drama favorit hingga larut malam. Apapun caranya, yang penting adalah melakukan hal yang kita senangi. Tak perlu ragu karena adakalanya kita butuh berhenti sejenak sambil menepuk bahu sendiri dan mengatakan “good job!

Kalau saya dulu waktu badai UTS melanda, maka saya dari sebelum UTS mulai sudah memikirkan kado untuk diri saya setelah masa UTS usai. Biasanya yang paling sering diagendakan adalah pijat refleksi seluruh badan di kakiku seberang bioskop Empire di Jalan Solo (Kalau yang pernah di Jogjakarta pasti tahu lokasinya). Pijat 1,5 jam dari kepala hingga ujung kaki sudah cukup membuang segala energi negatif setelah UTS. Selesai pijat, rasanya rileks, dilanjut tidur panjang. Esok harinya sudah memulai hari dengan semangat baru. Jadi, sudah tahu mau menghadiahi diri apa nanti? 😉

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site is protected by reCAPTCHA and the Google Privacy Policy and Terms of Service apply.