Sewaktu saya masih berusia 7 tahun, saya sangat tak sabar menanti saat saya bisa menjadi orang dewasa. Bayangan saya kala itu menjadi dewasa berarti bebas melakukan apa saja. Tak perlu dimarahi karena menolak tidur siang (poin satu ini saya sangat menyesal, saat dewasa justru saat tidur siang adalah saat mewah yang jarang didapatkan), memilih kuliah di jurusan yang disukai (karena mempelajari semua subjek di masa sekolah adalah siksaan bagi saya), bebas makan apa saja yang saya sukai, dan segala kemandirian yang melekat pada diri manusia yang sudah mendapat cap ‘orang dewasa’.
Kemudian akhirnya masa yang saya nantikan tiba juga. Masa menjadi manusia seutuhnya dengan label ‘orang dewasa’. Bagi saya, masa menjadi orang dewasa dimulai ketika saya bekerja di rantau. Merasakan susah payanya mengais rejeki di kejamnya ibu kota. Hantaman demi hantaman datang mengikuti cap’orang dewasa’ yang akhirnya tiba masanya. Momen pertama yang mengajari saya menjadi orang dewasa yakni ketika saya sudah tidak kerasan bekerja di kantor pertama saya. Jam kerja yang tidak manusiawi dan kurangnya penghargaan atas performa adalah dua alasan mengapa saya memutuskan bahwa arah hidup saya harus sedikit berbelok dari jalur awal yang saya pilih. Menjadi dewasa berarti harus mampu menyelesaikan masalah dengan kepala dingin. Kali ini tentu saya harus mampu tetap bertahan meskipun pekerjaan begitu menyebalkan sambil mencoba mencari peluang di tempat kerja lainnya. Kenapa? Tentu saja pantang bagi ‘orang dewasa’ untuk menjadi benalu bagi orang tuanya, kemandirian finansial adalah salah satu ciri kedewasaan yang saya punya, itu prinsip saya.
Alhamdulillah tak butuh waktu lama, kesempatan itu datang juga. Bahkan dari dua tempat kerja berbeda sekaligus. Pada saat inilah saya baru berkonsultasi dengan orang tua saya dalam mempertimbangkan pilihan terbaik. Momen ini adalah salah satu pembuktian bagi kedua orang tua saya bahwa saya bisa mengatasi masalah saya sendiri sebagai orang dewasa. Bukan hanya sekedar langsung berhenti dari pekerjaan yang menyebalkan untuk saya tanpa menyiapkan rencana lainnya.
Hidup saya kembali berada di persimpangan ketika tak terasa 2 tahun telah berlalu dari sejak kepindahan saya kerja. Ruang untuk saya terus mengembangkan kapasitas diri rasanya semakin terbatas. Mulailah masa pencarian untuk menggeser sedikit kemudi kapal perjalanan hidup saya. Untuk mencari pekerjaan baru lainnya rasanya saya sudah terlalu jenuh. Bersekolah kembali! Ide ini tercetus karena masih ada rasa penasaran saya akibat dahulu gagal lolos seleksi pertukaran mahasiswa ke Jepang. Ada satu ambisi yang belum tercapai yakni merasakan menjadi mahasiswa di kampus ternama di luar negeri.
Dimulailah perburuan beasiswa yang kisah lengkapnya bisa dibaca di sini. Akhirnya kemudi kapal kehidupan saya berbelok bahkan melanglang buana jauh hingga ke Jepang. Nah saat itulah dimulai perjalanan kata ‘kapan’ menghantui hidup saya yang dilontarkan orang-orang sekitar. Pertanyaan ‘kapan lulus?’ tak begitu meneror saya karena Alhamdulillah bisa lulus lebih cepat yakni 3,5 tahun. Kemudian berlanjut dengan pertanyaan ‘kapan nikah?’ Alhamdulillah karena merantau ke Jepang, otomatis libur lebaran pun akan sulit mudik karena di Jepang tidak mengenal libur lebaran. Selamat lah saya dari teroran pertanyaan ini. hahaha
Selanjutnya pertanyaan berikutnya ‘kapan punya anak?’ yang hingga detik saya menulis saat ini hanya bisa saya jawab ‘doakan saja’. Sebetulnya teror pertanyaan itu tak begitu terasa karena saya masih berada di perantauan jauh. Namun justru sekalinya pertanyaan itu terlontar, ada rasa sedikit ngilu di hati. Wallahualam adalah mungkin jawaban terbaik karena sebagai orang yang beriman, tentu kita pernah diajarkan bahwa jodoh, rejeki, dan maut adalah di tangan Allah. Sebagai makhluk tugas kita hanyalah berikhtiar. Hasil akhirnya kita serahkan ke Allah karena Dia lah sebaik-baiknya yang mengatur kehidupan kita.
Bagi para penanya ‘kapan?’ ada baiknya mengingat bahwa pertanyaan yang dilontarkan tentu sama dengan kondisi jika setiap orang ditanya ‘kapan mati?’. Sebuah pertanyaan retoris yang tak perlu dijawab karena memang tak ada yang tahu jawabannya. Daripada memberondong dengan pertanyaan basa-basi yang tak kita sadari dapat mengiris hati lawan bicara, ada baiknya mengangkat topik yang lebih berfaedah daripada meneliti catatan kehidupan orang lain dan menilai baik buruk layaknya malaikat Raqib dan Atid.
Apakah ada kepuasan tersendiri yang dicapai jika kita berhasil membuat lawan bicara mati kutu dengan pertanyaan kapan yang kemudian hanya bisa dibalas dengan senyuman getir? Apakah kita memang seharusnya membuat orang lain merasa hidupnya tak cukup bahagia sehingga perlu dibanding-bandingkan? Bagi saya jawabannya tidak. Setiap orang memiliki pertarungan dalam hidupnya masing-masing. Alur cerita, naik turunnya emosi serta kejutan-kejutannya spesifik. Dan pastinya sudah Allah atur yang terbaik!
Maka dari itulah saya senantiasa berusaha mengindari untuk melontarkan pertanyaan ‘kapan’. Setidaknya saya mengurangi populasi para pemburu jawaban akan pertanyaan ‘kapan’ bagi orang lain. Mengurangi kemungkinan tergoresnya hati satu orang yang pernah menjadi lawan bicara saya agar ia tetap optimis menatap kehidupannya yang memang sudah sempurna dengan segala keunikan perjalanannya. Bagaimana dengan kamu?