Kalau berbicara tentang Jepang, sudah pasti akan terbayang dengan negara berteknologi mutakhir, kebudayaan tradisional yang tetap lestari, negara yang bersih dan tak ada sampah, semua yang serba teratur, dan segala kebaikan lainnya yang sering kita baca melalui artikel lepas di internet.
Beberapa kesempatan sempat membaca di pemberitaan lokal Jepang mengenai masalah demografi alias kependudukan yang sudah semakin bertambah parah dari tahun ke tahunnya. Sejak awal kedatangan di Jepang, saya pun sudah terheran-heran dengan banyaknya kakek nenek yang berkeliaran di jalan. Mereka dari yang masih sehat segar bugar bahkan sampai yang sudah membawa tabung oksigen untuk membantu bernafas masih beraktivitas di luar rumah, menaiki transportasi umum, dan aktif membaur di kegiatan komunitas. Saya lebih sering berpapasan dengan kakek-nenek dibanding anak sekolah yang pulang berjalan kaki maupun ibu-ibu mendorong kereta bayi.
Indeks kependudukan Jepang saya ambil referensi dari sini,menunjukkan total rasio dependen yang mencapai 64.5 pada tahun 2017. Artinya jumlah penduduk yang bergantung (usia 0-14 tahun serta di atas 65 tahun) berjumlah 64.5% dari total penduduk usia produktif 15-64 tahun. Penduduk usia produktif ini adalah para pembayar pajak aktif yang dana pajaknya digunakan untuk memenuhi kebutuhan negara dalam hal penyediaan pendidikan (sekolah), asuransi kesehatan, tunjangan dana pensiun, dan berbagai dana untuk pemenuhan kebutuhan masyarakat lainnya. Menilai rasio pendukung potensial yakni sebesar 2.3 dapat dikatakan secara sederhana bahwa 2 orang usia produktif menanggung 1 orang usia tidak produktif. Bila dibandingkan dengan rasio di negara Indonesia dari sumber yang sama yakni 13. Artinya 13 penduduk usia produktif mendukung 1 orang usia tidak produktif.
Selain itu jumlah pertumbuhan penduduk menunjukkan angka yang sangat miris yakni -0.19%. Kurang lebih jumlah penduduk Jepang berkurang sebanyak 403.000 penduduk di tahun 2017. Angka yang fantastis jika selama ini kita hanya mengetahui jumlah penduduk di Indonesia yang terus menerus bertambah. Fenomena ini tentu asing namun banyak hal yang bisa kita pelajari. Hal inilah yang membuat saya dan suami berkeinginan melihat fenomena ini di sela perjalanan akhir tahun kami. Kota Nanao kami pilih karena lokasinya yang masih cukup dekat dengan Kanazawa yakni 1,5 jam berkereta. Apa yang kami temukan betul-betul membuka mata kami, penasaran?
Hari pertama ketibaan kami sudah sore di Nanao. Sengaja kami berkeliling malam itu karena kami hanya 1 malam di Nanao. Saat berkeliling, satu suasana yang menyelimuti : sepi! Hanya kami berdua yang berjalan berkeliling kota. Kota ini seakan menjadi kota pribadi milik kami. Memang semua toko sudah tutup, tapi bahkan tak ada seorangpun yang melewati jalan ini padahal jam baru menunjukkan pukul 7 malam. Suasananya sangat tenang. Nuansa tradisional masih terasa sangat kental. Suasana sepi membuat kami bebas foto sana sini.
Malam itu juga kami bergerilya mencari makanan untuk sarapan kami besok. Pergilah kami ke minimarket terdekat. Lokasinya dekat dengan stasiun utama. Saat masuk, kaget! Barang yang terpajang di etalase hanya 2 sampai 3 buah untuk masing-masing jenis. Padahal bangunan masih terlihat bagus dan bersih. Akhirnya kami putuskan membeli keripik kentang, karena itu satu-satunya yang aman secara kandungan (kemudian saat di hotel kami lihat ternyata sudah kadaluarsa beberapa hari lalu). Kenapa ya? Kami bergumam. Padahal secara lokasi cukup strategis di dekat stasiun utama. Ternyata setelah keluar, kami baru memperhatikan ada tulisan menunjukkan bahwa minimarket ini akan tutup per akhir bulan Januari 2018. Padahal persaingan bisa dikatakan tak begitu ketat, berjalan 8 menit terdapat minimarket lain. Berbeda dengan di Tokyo dan Yokohama yang bahkan jalan dalam 1 menit sudah ada minimarket lainnya.
Dekat hotel kami pun ada pom bensin yang sudah tak berfungsi, Bahkan ada dua yang tak berfungsi. Ternyata hanya ada 1 pom bensin yang masih berfungsi. Mall pun hanya ada satu di kota ini. Tampilan luarnya pun sudah kusam. Desain di dalamnya juga sudah terlihat usang. Seolah berjalan kembali melalui mesin waktu di kala saya masih kecil dan ke mall adalah satu-satunya hiburan mewah untuk kami sekeluarga. Ya kurang lebih seperti itulah kondisinya. Mall dengan desain ala tahun 2000-an. Seolah zaman terhenti di mall ini.
Kemudian selanjutnya di pagi hari kami menuju ke pasar ikan terkenal. Suasana cukup ramai dibandingkan semalam. Setelah itu kami menuju taman yang terkenal akan keindahan sakuranya. Kami satu-satunya pengunjung! Akhirnya sesi foto kedua bagi kami sepuasnya di tempat ini. Tempat ini tampaknya sedang direnovasi, masih terlihat berbagai peralatan pertukangan di sudut taman. Lagi-lagi suasana tenang kami rasakan, hanya sesekali berpapasan dengan kakek nenek yang mengajak jalan anjing peliharaannya di pagi hari. Kami juga tak sengaja menemukan sebuah kuil yang sudah ditutup namun masih bisa dikunjungi taman luarnya. Lagi-lagi hanya kami berdua di sini. Bangunan tamannya terlihat tidak terawat. Padahal ukuran kuil ini cukup besar.
Selama perjalanan pun banyak gedung yang dahulunya digunakan untuk berdagang namun kini sudah ditutup. Akhirnya gedung-gedung tersebut usang tak berpenghuni karena untuk dijadikan tempat usaha baru pun peluang keberhasilannya mungkin kecil. Semakin kami memperhatikan, kami baru menyadari hanya mungkin 2-3 kali kami berpapasan dengan pasangan yang berusia muda. Melihat ibu mendorong kereta bayi? Tak pernah. Berpapasan dengan kakek nenek? Sangat sering. Rasanya kota ini memang lebih banyak penduduk berusia senja.
Karakteristik negara maju benar-benar terasa di Nanao. Para anak muda sudah banyak yang pindah ke kota untuk mencari peluang pekerjaan yang lebih baik. Fasilitas yang sudah dibangun di kota Nanao terlihat sudah dibangun dengan baik. Terdampak oleh melesatnya perekonomian Jepang pada tahun 2000an. Akan tetapi fasilitas ini lama-lama menjadi usang karena melambatnya perekonomian. Jumlah penduduk yang makin menyusut mengakibatkan melambatnya roda perekonomian, banyaknya toko-toko yang tutup, dan lama-kelamaan bukan tak mungkin kota ini akan menjadi kota mati di saat para penduduk usia tuanya sudah tak ada lagi akibat regenerasi penduduk yang tak berjalan.
Regenerasi penduduk juga menjadi isu hangat. Kembali ke data statistik sebelumnya yang menunjukkan fertility rate sebesar 1.41 artinya setiap 1 keluarga di Jepang rata-rata memiliki 1 orang anak. Konsep pemahaman bahwa memiliki anak artinya pengeluaran yang mahal dan tak ada konsep berbakti pada orang tua membuat kebanyakan orang Jepang memandang memiliki anak sebagai sebuah pembatas terutama untuk karir. Jika sudah memasuki usia senja, kebanyakan orang Jepang memilih untuk masuk ke panti jompo karena fasilitasnya lengkap dan tak mau merepotkan orang lain. Kemudahan hidup dengan banyaknya makanan siap saji di minimarket dengan harga terjangkau, budaya manga yang membuat para pria menikmati hidup di dunia khayalannya, adanya praktek prostitusi yang legal, kafe dengan konsep pacar khayalan, segalanya seolah mendukung kebutuhan akan pasangan namun tanpa komitmen.
Inilah beberapa potret yang tersisihkan dari Jepang. Sebuah pelajaran yang bisa menjadi penyemangat untuk makin bersyukur.