Menyambung kisah saya sebelumnya untuk perjalanan di Wakayama, ada satu kisah lagi yang sangat berkesan bagi saya. Apalagi saat itu saya baru saja datang ke Jepang. Lama merantau di Jakarta membuat saya banyak bersikap skeptis dan gampang curiga dengan orang lain. Maklum kalau di Jakarta dengan tingkat kriminalitas tinggi, harus pandai mawas diri. Jika ada yang ramah sedikit tentu harus lebih waspada karena bisa jadi berniat buruk, menculik, memmberi obat bius kemudian dirampok, dan bahkan memperkosa (iya sebegitu seramnya di Jakarta).
Nah saat kami sedang di kereta, tiba-tiba ada kakek yang menyapa kami (saya mengembara bersama kak A kali ini). Bahasa Jepang seadanya kami menjawab. Tahu kami dari luar Jepang, si kakek sangat ramah. Memberi kami cinderamata dari tas nya. Nah sampai sini mulai perasaan tidak enak, kok baik sekali. Kemudian mengobrol lah kami lalu si kakek menawarkan berhenti di stasiun Kishi untuk memfoto kami dengan bangunan stasiun yang unik berbentuk kepala kucing. Baiklah pikir kami, karena pada zaman itu belum ditemukan yang namanya tongsis saudara-saudara. hehehe.
Kemudian si kakek berkata, mau coba sushi? Tahu sushi kan? Sashimi tahu? Ini makanan khas Jepang. Saya tahu tempat makan enak dekat sini. Sebenarnya kak A yang memang hatinya polos ini mau-mau saja berkelana dengan si kakek. Namun saya yang masih teracuni skeptis ala perantauan ibukota malah makin berpikir macam-macam. Jangan ah nanti kita diajak ke tempat yang tidak-tidak. Begitu pikir saya. Akhirnya kami mengelak dengan beralasan kami dari Kobe jadi tak berani pulang terlalu malam karena perjalanan jauh. Akhirnya si kakek menyerah membujuk kami.
Kemudian kami naik kereta lagi, eh si kakek ikut lagi. Saya kira si kakek rumahnya di stasiun Kishi. Ternyata beliau hanya mengantarkan kami untuk berfoto. Kalau bertanya rumahnya daerah mana nanti kami seolah mengusir. Yasudah kami mengikuti saja si kakek. Waktu sudah menunjukkan pukul 4 sore kala itu. Karena memang sudah puas bersepeda keliling Wakayama dan juga menikmati kereta hiasnya maka kami putuskan pulang. Si kakek akhirnya ikut dengan kami sampai ke Stasiun Wakayama. Saat tiba di stasiun, kami memang haru berganti kereta namun si kakek mengajak kami mampir ke mall terdekat. Yasudah saya kesampingkan perasaan curiga dan juga tak ingin menunjukkan kesan tidak bersahabat.
Sesampainya di mall, kami diajak ke lantai dasar yang menjual souvenir makanan dan juga bento. Si kakek berkata, apa kalian sudah membeli stroberi? Buah itu khasnya Wakayama lho. Kami hanya tersenyum getir. Selain tidak menemukan toko yang jual, kami juga hanya punya budget terbatas. Apalagi buah stroberi termasuk buah premium. Kemudian si kakek mengajak kami ke salah satu toko yang menjual stroberi. Ini enak stroberinya lho! Terlihat harga 1000 yen untuk satu paket stroberi ukuran besar itu. Buahnya terlihat merah menyala, bersih dan mengkilap. Pasti sedap rasanya. Baunya pun sudah tercium. Namun apa daya harga 1000 yen. Si kakek pun iniatif mengambil stroberi itu kemudian membawa ke kasir. Cemaslah kami berdua, siapa yang mau membayar? Ternyata si kakek yang membayar kemudian menyerahkan ke kami. Gift! kata si kakek. Wah baik sekali!
Tak berhenti sampai di situ, kemudian si kakek mengajak kami ke stand bento. Agak sulit menjelaskan bahwa sebagai muslim, kami mempunyai pantangan makanan. Ternyata si kakek familiar! Beliau repot-repot memesankan bento spesial buat kami, tanpa sake, mirin, dan daging. Semacam vegetarian bento bisa dibilang. Beliau juga sambil mengkonfirmasi kepada kami sebelum memesan. Lagi-lagi si kakek yang membayar kemudian diberikan ke kami, untuk bekal di perjalanan katanya. Perjalanan ke Kobe masih memakan waktu 2 jam. Jadi ini untuk makan di perjalanan. Sampai di sini saya jadi tak bisa berkata apa-apa.
Ingat di awal cerita saya bilang betapa mental curiga saya masih seperti ketika saya di Jakarta? Melalui kakek ini seolah saya disadarkan bahwa bumi tempat saya berpijak tidak lah lagi sama. Masih ada orang baik yang berhati tulus. Salah satunya saya belajar dari sang kakek. Saat kembali ke stasiun pun kami sempat bertanya alamat si kakek untuk berkirim kartu pos sebagai ucapan terima kasih. Namun si kakek menolak secara halus mengatakan itu tidak perlu. Ini semua adalah gift for frienndship! Sebagai sebuah tanda persahabatan dari penduduk lokal. Hati ini langsung hangat akan kebaikan sang kakek. Kami berpisah di stasiun Wakayama. Kami hanya dapat berucap arigatou gozaimasu sebaik yang kami mampu sambil memberi salam menundukkan badan serendah mungkin. Terima kasih kakek! Mengajarkan saya banyak hal hari ini. Ya! kini saya di Jepang. Semua mentalitas di perantauan Jakarta harus dibuang. Saya harus makin ramah dan membaur dengan penduduk lokal. Terima kasih kakek!