31 Agustus 2016, Tokyo – Qatar – Jeddah. Masha Allah. Masih tak percaya ketika tiket pesawat Qatar Airlines itu kupegang di tangan. Ikhtiar selama setahun belakangan ini, disertai dengan doa dan niat ikhlas sekiranya Allah pantaskan kami untuk diundang berhaji ke Baitullah. Mengingat perjalanan masa lalu dengan segala pasang surut iman, kemudian Allah undang berhaji di usia 26 tahun tentu tak pernah terbersit di benak saya. Cerita ini saya bagikan untuk menjadi penyemangat bagi diri saya agar senantiasa memantaskan diri agar dapat Allah undang kembali ke Baitullah, sekaligus mengajak pembaca artikel ini untuk meniatkan dalam hati memenuhi undangan ke Baitullah disertai ikhtiar nyata mewujudkannya.
Pertama saya akan flashback dulu saat saya pertama kali menginjakkan kaki ke Jepang untuk melanjutkan studi. Dari awal mendaftar beasiswa, sama sekali tidak ada niatan dan bahkan saya pun tidak ada pengetahuan bahwa berhaji dari Jepang itu tak perlu antri. Allah takdirkan saya melanjutkan kehidupan bersama suami di Jepang selepas ia menamatkan sekolah. Suami memulai kerja sebagai karyawan perusahaan Jepang dan saya melanjutkan studi Master tahun ke dua.
Dalam suatu kesempatan, di awal pernikahan kami, suami mengajak mengobrol mengenai kemudahan berhaji dari Jepang. Setelah diskusi singkat, suami pun menugasi saya mencari info terkait travel serta biaya yang diperlukan.Beberapa pertimbangan kami memutuskan untuk berhaji:
- Berhaji itu wajib bagi yang mampu. Ikhtiar rezeki insha Allah akan Allah cukupkan yang penting kita berusaha maksimal meraihnya
- Kemudahan di Jepang untuk langsung berangkat tanpa antri
- Masa depan yang tak dapat diprediksi apakah sekiranya kami masih di Jepang, atau bahkan apakah Allah masih karuniai usia panjang? Jika Allah telah berikan rezeki namun ibadah ini kami tunda-tunda tentu sangatlah disayangkan seolah tak mensyukuri nikmat-Nya
- Meski rasanya ilmu yang kami miliki masih sangat minim, ikhtiar ke tanah suci ini kami niatkan dapat menjadi momen pivot dalam hidup agar dapat senantiasa di jalan yang lurus dan diberkahi Allah. Satu kata yang sangat saya sukai dari Ibn Rajab terkait ikhtiar dalam beribadah: Jika tak mampu bersaing dengan para shalihin dalam ibadahnya, berlombalah dengan para pendosa dalam istighfarnya. Ini kalimat penyemangat yang selalu saya ingat untuk terus berproses memperbaiki diri. Dengan beberapa pertimbangan di atas, dan dengan mengucap Basmallah, maka kami bulatkan tekad untuk ke Baitullah.
Kemudian pada kesempatan selanjutnya, saya paparkan hasil riset saya (serius banget ya keluarga ini? seperti meeting beneran. haha), kemudian saya tuliskan juga perhitungan biaya yang diperlukan. Sejak tahun 2015, paket haji dari Jepang sudah all-inclusive alias termasuk makan pun sudah termasuk biaya haji. Saat saya mendaftar biaya yang dikenakan sekitar 670,000 yen per orang (termasuk vaksin meningitis dan flu, akomodasi, transportasi, dan qurban).
Kemudian perencanaan keuangan pun dibuat, agar sebelum Juli 2016, kami dapat melunasi biaya haji untuk berdua. Hitung-hitung bonus suami, sampai ke biaya apa yang bisa dihemat agar tabungan kami mencukupi. Budget pun kami perketat. Terutama harus disiplin dan zero tolerance kalau ada pengeluaran mendadak maka kami tak boleh mengurangi budget tabungan per bulan. Sebagai gantinya, yang kami kurangi misalnya budget makan di luar (tampaknya bisa dihitung jari kami makan di restoran selama setahun itu) dan juga budget akomodasi rumah. Ini adalah strategi kunci tabungan kami agar mencapai target. Saat gaji masuk rekening, budget tabungan haji langsung dipindahkan ke rekening lain.
Setelah perencanaan keuangan beres, selanjutnya adalah mencari travel serta belajar teknis pelaksanaan. Di Jepang, pelaksanaan keberangkatan haji hanya diurus oleh travel. Bukan seperti di Indonesia yang pemerintahnya super sibuk turut membantu. Kuota? Sekitar 150 orang per tahun. Itu pun seringnya sisa. Jumlah muslim di Jepang sangat sedikit. Sehingga kuota ini lebih banyak dipakai oleh penduduk berkebangsaan non-Jepang yang sedang studi atau kebetulan bekerja di Jepang, seperti kami ini. Akhirnya kami memutuskan memakai Mian Travel karena saat di Mekkah, akomodasinya cukup dekat dengan Masjidil Haram. Sekitar 15 menit jalan kaki, kecepatan jalan kaki orang Indonesia mungkin sekitar 20-25 menit (kebiasaan jalan kaki di Jepang cepat soalnya. hehe).
Pesawat kami akan transit dulu di Qatar sekitar 10 jam (direncanakan kami mendapatkan akomodasi hotel transit untuk mandi dan berganti ihram). Alhamdulillah meski ada sedikit kendala saat di bandara Qatar, akhirnya kami dapat istirahat sejenak di hotel. Hotelnya luas sekali, apalagi untuk kami yang terbiasa dengan bangunan imut di Jepang. Tapi percayalah kami tak bisa beristirahat dengan tenang. Deg-degan karena sebentar lagi akan tiba ke tanah Haram. Dalam hati hanya mampu berdoa, ya Allah lancarkah ikhiar kami untuk menjadi tamu di rumahMu. Setelah mandi dan berganti baju ihram, kami berkumpul di lobi hotel kemudian kembali menuju bandara.
Saya duduk di dekat jendela pesawat. Formasi duduk 3-3-3 membuat kami duduk di sebelah jamaah haji dari Asia Selatan. Seorang nenek sekitar umur 60-70 tahun duduk di kursi pinggir bagian koridor, dan suami saya di tengah. Belumlah kami menginjakkan kaki kami di tanah Haram, Allah sudah beri kami pengingat untuk bersyukur. Sang nenek tampaknya baru pertama naik pesawat. Beliau bingung memakai sabuk pengaman, juga teknis makan di pesawat. Selama perjalanan, kami membantu sang nenek agar nyaman di perjalanan (meski dengan bahasa isyarat karena sang nenek tidak bisa bahasa Inggris dan hanya Urdu). Dalam hati saya panjatkan syukur kepada Allah karena telah mengundang kami sehingga dengan mudahnya dapat ke tanah suci. Teringat sekali banyak kisah perjuangan yang saya baca untuk orang-orang berhaji. Ada tukang becak yang menabung puluhan tahun, nenek penjual dagangan yang menyisihkan seribu rupiah per hari, dan kisah lainnya. Sehingga wajar saja mereka bingung saat di pesawat, bahkan mungkin naik pesawat pertama dan terakhir ya memang untuk berhaji ini.
Ketika pilot mengumumkan pesawat sebentar lagi melewati miqat, rasanya sungguh haru dan tak percaya. Ya Allah terima kasih engkau undang hambaMu ini ke rumahMu. Rasa haru yang sulit saya gambarkan dengan kata-kata. Berniat haji tammatu kami niatkan saat melewati miqat. Istighfar pun banyak saya ucapkan agar Allah mengampuni kekhilafan selama ini dan memudahkan ibadah kami. Saat turun dari pesawat pun rasanya masih seperti mimpi. Ya, perjuangan berhaji dimulai dari sekarang! Ikhtiar menyempurnakan segara tahapan rukun haji agar dapat menjadi haji mabrur.
Ibadah haji itu butuh perjuangan fisik yang mumpuni. Dimulai dari menunggu bus untuk membawa rombongan dari Jeddah ke Masjidil Haram. Kami mengantri sekitar 3 jam. Hal ini karena kami memakai bus gratis jatah dari pemerintah Arab Saudi. Bahkan ini bisa terbilang cepat. Biasanya waktu tunggu hingga 7-8 jam. Setelah sampai di hotel pun, kami langsung menuju masjidil Haram karena waktu sudah hampir 1,5 jam lagi memasuki waktu Shubuh. Ibadah umrah diharapkan bisa selesai sebelum waktu Zuhur tiba.
Kami beserta rombongan berjalan kaki dari penginapan menuju Masjidil Haram untuk pertama kalinya sambil mengucapkan talbiyah: Labbaik, Allahumma Labbaik Labbaik. laa syariika laka labbaik innal hamda wan ni’mata laka wal mulk laa syariika laka (Aku memenuhi panggilanMu, ya Allah aku memenuhi panggilanMu. Aku memenuhi panggilanMu, tiada sekutu bagiMu, aku memenuhi panggilanMu. Sungguh segala puji dan nikmat adalah milikMu, begitu juga seluruh kerajaan, tiada sekutu bagiMu). Kalimat tersebut berulang-ulang kali kami ucapkan hingga tiba di pelataran Masjidil Haram. Lagi dan lagi rasanya sulit sekali membendung air mata. Rasa haru menyelimuti setiap langkah menuju Masjidil Haram, apalagi melihat langkah ini semakin dekat kepadanya. 1,5 jam sebelum waktu Shubuh tiba itu ternyata termasuk telat untuk ke dalam masjid. Jalan yang kami lalui pun cukup berputar agar jamaah dapat terdistribusi ke seluruh bagian masjid. Akhirnya kami hanya dapat shalat di pelataran Masjidil Haram. Setelah shubuh berjamaah, barulah kami bergerak menuju ke dalam masjid untuk memulai umrah.
Membludaknya jumlah jamaah saat musim haji tiba, mengharuskan askar atau pihak keamanan masjid untuk memberlakukan sistem buka tutup pintu Masjid. Setelah waktu shalat usai, makan diprioritaskan untuk jamaah yang akan meninggalkan Masjid. Kemudian barulah kita dapat masuk ke dalam Masjid. Masjidil Haram sungguhlah teramat besar. Begitu megah. Di dalamnya terasa adem meski cuaca sangat lembab dan gerah di luar. Meski awalnya kami rombongan bersama anggota travel, namun akhirnya umroh kami laksanakan hanya berdua. Tawaf dengan jutaan manusia lainnya membuat kami terpisah-pisah. Inilah mengapa penting untuk belajar teknis haji mandiri. Berbeda dengan rombongan Indonesia yang saya lihat seperti sudah sangat teratur dengan formasi bapak-bapak di lingkaran luar dan para ibu-ibu di lingkaran dalam dan satu pimpinan rombongan di depan sambil memimpin doa saat tawaf. Hal ini juga mungkin mengingat usia jamaah yang relatif sudah uzur dan akan sangat bahaya jika tersasar sendiri di Masjidil Haram yang pintunya ratusan. Formasi ini juga sangat membantu karena pusaran manusia tawaf sangatlah berdempetan. Apalagi menjelang sudut Hajar Aswad. Semua orang akan berlomba mendekatinya sehingga gencetan pun tak terelakkan.
Tangis pun pecah sejadi-jadinya ketika pertama kali melihat Ka’bah. Rasanya Allah itu sangatlah besar rasa sayangnya pada umatNya. Begitu banyak khilaf di masa yang lalu namun Allah masih beri kesempatan untuk memperbaiki diri sebelum terlambat. 7 putaran tawaf tak ada yang absen dari deraian air mata. Suami saya pun begitu. Rasa haru berdua berjuang bersama teringat dari awal kami mempersiapkan menabung hingga akhirnya kini Kabah di depan mata kami. Alhamdulillah atas segala nikmat-Mu ya Allah.
Alhamdulillah umrah dapat kami selesaikan dengan lancar. Lega sekali rasanya. satu tahapan haji tammatu sudah tertunaikan. Saatnya melanjutkan perjuangan. Beradaptasi dengan suhu panas hingga mencapai 55 derajat di siang hari agar dapat tetap mempertahankan stamina sambil menunggu saatnya rukun ibadah haji dimulai. Satu tips yang paling berguna yakni mengerti arti dari setiap doa dalam rukun ibadah haji. Mengapa? Saya sempat membaca beberapa sumber dan juga menonton video yang menggarisbawahi bahwa tak perlu khawatir apabila belum hafal doa-doa dalam rukun haji di luar kepala. Kita bisa membawa buku untuk membacanya, namun yang paling penting yakni doa itu tulus dari hati. Dengan memahami artinya, maka insha Allah hati kita akan lebih terikat dengan doa tersebut.
Sebagai contoh kalimat talbiyah. Dengan mengetahui artinya yakni Aku memenuhi panggilan-Mu ya Allah. Tentu hati kita akan terasa lebih khidmat dalam mengucapkannya. Tidak hanya sambil lalu di lidah saja terucapnya. Sebagai pemanasan, dapat dimulai dengan memahami arti dari setiap bacaan shalat. Artinya sungguh indah jika kita resapi dalam-dalam. Banyak pujian untuk Allah dan memohon ampunan serta berserah diri kepada Allah dalam setiap bacaan shalat. Insha Allah dengan memahami artinya, dapat meningkatkan kekhusukan ibadah kita.
Jadi selain memahami arti, penting juga saya garis bawahi untuk menyeleksi tuntunan ibadah haji yang jelas dalilnya. Bacalah doa seperti yang telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw. Beberapa buku tuntunan haji mencontohkan doa yang artinya bagus, panjang sekali doanya namun dalilnya kurang kuat. Untuk saya pribadi, saya lebih memilih mencari sumber dengan dalil yang kuat. Kemudian jika ada kesempatan berdoa sesuai keinginan kita, maka dapat kita sampaikan dalam bahasa Indonesia. Tidak harus bahasa arab. Yang penting doa kita sampaikan dengan segala kerendahan hati memohon rahmat Allah. Foto berikut saat kami transit di Qatar sebelum menuju Jeddah